Rabu, 21 April 2010

CERPEN TENTANG MOTOR TUA

Motor Tua Motor tua itu, sesungguhnya masih bagus. Hanya saja debu dan sarang laba-laba membuatnya seakan menjadi seonggok besi tua tak berguna di sudut gudang. Banyak cerita yang dibawa motor tua itu. Mulai dari masa-masa sekolah pemiliknya, pacaran, kampanye pemilu hingga beralih tangan ke generasi penerus sang pemilik. Anaknya.Kini, kalau saja motor itu bisa bercerita, dia akan memutar kembali rekaman masa lalunya.Mulai dari dia ketika dibayar dengan kontan oleh Ibnu Hajar untuk anaknya, Amirullah yang saat itu naik ke kelas III SMA. Itu tahun 1970. Dengan nilai rata-rata 8, Amirullah dapat kelas paspal. Jurusan paling bergengsi kala itu.Hadiah dari orang tuanya yang pengusaha ternama di Palembang, sebuah motor. Beroda besar, dengan tanki bensin juga besar. Warnanya hitam. Tak banyak yang bisa pegang motor ketika itu. Jadilah, dengan celana cutbrai, Amirullah jadi pusat perhatian. Mujur, prestasi belajarnyapun semakin bagus. Dia juga aktif di organisasi sekolahnya. Banyak teman, luas pergaulan, ditambah punya kendaraan tentu saja membuat pemuda Amirullah punya banyak kesempatan.Tamat SMA, dia pun melanjutkan kuliah ke Pulau Jawa. Motor kebanggaannya dibawa. Pilihan orangtuanya memang tepat. Amirullah tak semata bagai katak dalam tempurung. Pergaulan dan pengalamannya semakin luas.Bukan saja soal kuliah tapi juga soal wanita. Gonta-ganti pacar bukanlah hal aneh bagi Amirullah. Saksi matanya, motor gede itu.Dengan suara besar dan jok besar, pantat-pantat gadis pun tak sedikit telah menikmati empuknya jok motor itu.Balasannya, tentu sang pemilik pun bisa merasakan getaran gadis-gadis itu. Sampai akhirnya, Amirullah tercantol seorang gadis. Umiyati, namanya. Belum tuntas kuliah, keduanya terikat tali perkawinan.Setahun kemudian, lahirnya seorang bayi. Namanya Amiruddin. Dia berumur 3 tahun, sang ayah tamat kuliah. Sang balita dan ibunya diboyong ke Palembang.Naluri bisnis Amirullah jalan. Organisasinya juga. Dia sukses menjadi pemborong, juga menjadi aktivis partai. Dengan motor besar, waktu kampanye dia turun jalan. Ikut keliling kota bahkan ke daerah-daerah.Saat pemilihan umum, di partai berkuasa, dia ikut terpilih. Kini, statusnya anggota dewan. Dari luar, semuanya tampak begitu mudah.Meski sesungguhnya tak segampang itu. Perkawinannya pernah nyaris bubar. Gara-gara sang istri cemburu karena kedekatannya dengan sekretaris ketika sibuk-sibuknya berpartai. Kalau saja, dia tak sabar, keinginan cerai istrinya bakal ibarat gayung bersambut. Tapi, dia masih sabar dan memang pandai menyimpan rahasia. Kecemburuan itu tak terbukti. Meski sesungguhnya memang wajar dicemburui karena hubungan mereka sudah terlalu jauh. Motor hitam gede itulah saksi matanya. Sama seperti dulu ketika dia kuliah.Begitupun bisnisnya, nyaris roboh. Karena, antara politik dan bisnis pernah tak seimbang. “Beruntung, dengan kedudukan terhormat sebagai anggota dewan, proyek-proyeknya jalan. Dan pengalamannya berbisnis membuatnya tahu liku-liku proyek,” tutur sang ayah, Ibnu Hajar kepada rekannya saat masih sehat. Kini, Ibnu Hajar memang sudah meninggal. Memang, Ibnu Hajar pun tak bisa memastikan, mana posisi anaknya yang lebih menunjang. Apakah status pengusahanya menunjang aktivitas politiknya. Atau, aktivitas politiknya yang mendukung usaha anaknya.Yang jelas, keduanya memberikan modal bagi Amrullah untuk mencalon kembali sebagai anggota dewan. Dan dia pun terpilih kedua kalinya. Motor tua tetap menjadi andalannya pada saat menjelang pemilihan umum.Dia tampak gagah di atas sadel sepeda motor. Iring-iringan sepeda motor tampak gagah dengan dikawal vorider yang meraung-raung sirine dan lampunya berkelap-kelip.Teriakan dan yel-yel memuji tokoh dan kepartaian Amirullah mengiringnya mendapat posisi sebagai anggota dewan. Dua kali dia duduk di kursi dewan.Meski tak banyak yang bisa diperjuangkan bagi orang banyak kala menjadi anggota dewan, setidaknya bagi partai dan orang-orang dekatnya, Amirullah adalah orang baik.Dan memang Amirullah selalu tampil saat sidang dan rapat di gedung dewan. Dia menjadi orang yang paling banyak bicara. Tidakpernah tertidur ketika sidang. Habis, gizinya bagus. Dan itu diwariskan ke anaknya, Amirudin. Nyaris sama, perjalanan hidup sang anak dengan dirinya dulu. Bedanya, dulu orang tua Amirullah, Ibnu Hajar, pengusaha murni. Amirullah, pengusaha ya politikus. Dan, anaknya pun diajarkan berorganisasi dan berpolitik.Di nomor jadi, sang anak pun dipasang. Dengan motor besar milik ayahnya dia pun kembali mengulang sukses. Terpilih menjadi anggota dewan. Seakan, menggantikan kedudukan ayahnya. Kursi yang pernah diduduki ayahnya dirasakan juga olehnya.Hanya saja, politik berubah. Ketika pemilu diulang saat memasuki tahun kedua, ketika masa reformasi bergulir, Amiruddin tak terpilih lagi. Dia terpental.Usahanya pun kini hancur. Tinggallah, dia hanya mengurusi proyek yang tak dapat tender lagi. Tak sekuat ayahnya dulu. Motor tua itu pun tak terurus.Motor itu kini mau bercerita banyak. Tapi, adakah orang masih mendengarkan. Masih kah motor besar itu segagah dulu. Saat motor-motor Cina dengan body yang sama besarnya juga kini telah banyak merajai jalanan. Adakah yang mau membersihkan motor itu.Pemilihan umum kini pun telah berlalu. Dengan metode yang berbeda dari sebelumnya. Amiruddin, bukannya tak ikut. Meski bukan di nomor jadi, dia berjuang setengah mati. Baik itu tenaga maupun biaya.“Pemilu sekali ini beda. Tak penting nomor urut. Asal banyak yang milih kita bisa jadi,” ujar Amiruddin kepada istrinya yang sebelumnya sempat mengingatkan. Ketika penghitungan suara molor karena bermasalah, Amiruddin sempat stress. Melihat angka perolehannya seperti sulap yang gagal. Sim salabimnya sepertinya tak mempan lagi. Apalagi, beberapa kali, setelah penghitungan suara usai, jumlah perolehan suara beberapa kali juga berubah. Tapi anehnya, perolehan suaranya seakan tak bergeming.Amiruddin memang tak masuk hitungan. Bahkan, partainya pun tak satupun dapat kursi. “Sayang, kamu salah pilih kendaraan. Kalau saja, kendaraan kamu tepat, mungkin gedung dewan bisa kamu masuki lagi,” komentar seorang teman ketika Amiruddin berkeluh kesah. Mendengar kendaraan, Amiruddin pun teringat motor peninggalan turun temurun dari orang tuanya. Motor itu sebenarnya memang masih bagus. Tapi sayang, tak masuk dalam sebagian otaknya. Sehingga, hanya teronggok di sudut rumah.Dia sempat menatap motor itu. Terbayang, betapa gagahnya ketika ayahnya dan dia juga sempat mencicipi pamor motor itu. Tapi apa mau dikata, semuanya telah berlalu. Motor itu memang bukan seakan besi tua. Tapi memang sudah menjadi besi tua. Amiruddin, hanya bisa berkata motor..motor.. motor.. motor. Dia tak mengenali lagi istrinya. Anaknya. Temannya. Partainya sekalipun. Termasuk lambang partainya. Yang ada di otaknya mungkin motor tua yang gagah sehingga yang naik pun menjadi gagah.Makanya, meski tanpa motor, kini Amiruddin pun mengelilingi kota seakan naik motor. Mulutnya pun bergetar. Ngg Ngg Ngg Rrrrrr. Menirukan bunyi motor. Palembang, 20 Juni 2004 Dimuat di Harian Sore Sinar Harapan, edisi Sabtu 31 Juli 2004)

Rabu, 14 April 2010

MOTOR TUA BUKAN SEKEDAR URUSAN KOLEKSI

Hobi motor tua bukan sekadar urusan koleksi, melainkan bagaimana membuatnya layak jalan dan layak pajang. Inilah pengalaman David Sunar Handoko dan Andhie Saad mengoleksi motor tua.

Surya di akhir 2008 terasa datang lebih cepat. Meski tingginya belum sepenggalah, teriknya sudah menyengat. Di perempatan Jl. Margonda Raya, Depok, seorang polisi melambaikan tangan ke arah Andhie Saad, memintanya berhenti. Dengan sopan, direktur PT Aryan Indonesia, pengelola anjungan bermain anak Kidzania, ini menepikan sepeda motor antiknya, Honda seri CD 250. Meski mengantongi SIM dan STNK, wajah pria yang pernah bercita-cita menjadi wartawan ini terlihat tegang. “Dengan sedikit tegang, saya menepi,” kenang Andhie.
Namun, sang polisi ternyata tidak menanyakan surat-surat atau pelanggaran lalu lintas yang mungkin dilakukan Andhie. Ia justru menatap motor tuanya. “Pak polisi bertanya, dari mana dapat motor itu dan berapa harganya,” gelak Andhie. Kata Andhie, polisi itu mengaku penggemar motor antik, bahkan pernah memiliki motor sejenis yang ia pakai.
Kejadian di penghujung 2008 itu bukan kali pertama bagi Andhie. “Saya beberapa kali distop polisi hanya karena mereka ingin melihat motor saya lebih dekat,” tuturnya. Maklum, motor yang dikendarainya itu eks kendaraan dinas anggota TNI dan Polri. Bagi Andhie, semua itu tak jadi masalah. Malah, kalau sedang santai, di pinggir jalan pun alumnus Sastra Jawa dari Universitas Indonesia ini bisa ngobrol berlama-lama dengan polisi tentang motor tuanya.
Perkenalan Andhie dengan motor tua dimulai sekitar lima tahun lalu. Saat itu, tutur Andhie, koleganya mengendarai sebuah motor tua untuk menjemput sang buah hati, yang satu sekolah dengan putrinya. “Saya langsung tertarik,” kata Andhie. Naik motor tua, kesan Andhie, lebih cool dan low profile.
Tak dinyana, kegemaran naik motor tua itu bak virus flu: cepat menular. Buktinya, kian banyak orang tua murid yang ikut-ikutan menjemput anaknya dengan motor tua. Selebihnya, “Kalau sudah membahas motor tua dengan teman-teman, kami tidak ingat waktu,” ujar Andhie, tergelak.
Beda Tahun, Beda Fungsi
Lain lagi dengan David Sunar Handoko, pemilik Merpati Sakti, jaringan dealer motor Honda di Yogyakarta. “Saya ingin keberadaan motor tua dinikmati anak cucu,” ujarnya. Ide ini muncul saat David ke Kanada. Di sana, dia mendapati masyarakat Kanada tertarik dengan Harley-Davidson (HD) tua dari Indonesia. “Setiap minggu, kontainer-kontainer berisi HD tua datang dari Indonesia,” cetus pria kelahiran Yogyakarta, 12 November 1955 ini. Padahal, saat itu di Indonesia belum ada orang yang secara khusus mengoleksi HD tua.

Sepulang dari Kanada, David langsung membeli motor HD tua seharga Rp5 juta. Padahal, sebelum berangkat ke Kanada, David mengaku sempat ditawari HD tua itu seharga Rp3,5 juta dari penjual yang sama, tetapi ia tolak karena belum tertarik. Kini, David mengaku makin cinta dengan hobi barunya itu, terutama saat ia membangun motornya hingga layak pajang dan layak jalan. “Momen yang paling menyenangkan ialah setelah bersusah payah membangunnya hingga selesai,” imbuh dia.

Mengapa memilih HD tua? Kata David, selain agar generasi mendatang tetap dapat menikmati keindahannya, juga karena alasan investasi. Pasalnya, HD mempunyai brand yang kuat, sehingga nilai jualnya makin lama akan makin kuat. “Kalau memiliki koleksi, yang ada di pikiran saya adalah investasi dan harus untung,” tegas David.

Kini David mengoleksi 300 motor tua dari beberapa merek—90 motor HD asli AS, dan sisanya asal pabrikan Jepang dan Eropa. Salah satu kebanggaan David adalah HD tipe Knucklehead produksi 1936–1948; ia punya tiga motor, dua ber-cc 1.200 dan satu lagi 1.000 cc. Ketiganya ia peroleh dari seorang penjual di AS dan Jerman. “Saya beli lewat internet. Mereka kirim foto, saya setuju, mereka kirim,” tutur pria yang juga mengoleksi arloji dan mobil tua ini. Melalui internet pula David menjelajah lima benua untuk mendapatkan buruannya. Dalam berburu, kata David, kuncinya adalah kepercayaan. “Saya bersyukur, sampai saat ini tidak ada masalah bertransaksi dengan para kolektor,” imbuhnya.

Belakangan, David juga memburu motor buatan Jepang, terutama yang antik dan jumlahnya terbatas. “Saya selalu mencari motor langka, limited edition, yang memiliki nilai tersendiri pada masanya, atau menjadi tunggangan khusus, seperti kendaraan patroli polisi, tentara, atau lainnya,’’ urainya. Salah satu koleksi motor Jepangnya adalah Honda Benly CS 92 125 cc tahun 1959. David menyimpan 300 koleksinya di kediamannya yang seluas 3.000 meter persegi di Jl. KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

David bercerita, tiap kendaraan memiliki ciri khas. “Motor Eropa berbeda dengan motor Jepang atau AS. Kekhasan inilah yang menjadi daya tarik dan memperlihatkan karakter penciptanya. Selain itu, angka tahun pembuatan juga menyisakan visi dan misi pabrikan. Misalnya, untuk kendaraan perang, penjelajah, angkutan, dan yang lain,’’ urai David. Bagi David, mengoleksi motor Jepang relatif lebih mudah. Apalagi, tahun pembuatannya juga jauh lebih muda dibandingkan motor Eropa atau AS.

Namun, Andhie justru menilai sebaliknya. Bagi dia, memburu motor Jepang lebih besar tantangannya. “Komunitas motor antik pabrikan Jepang relatif lebih tertutup dibanding Eropa atau AS,” keluh pria yang kerap mengendarai motornya setiap Sabtu pagi ini. Andhie memberi contoh, untuk suku cadang, kolektor motor Eropa tinggal menghubungi kantor pusat. Lalu, komunitas pencinta motor Eropa juga lebih terbuka dan siap berbagi informasi. Sementara itu, pabrikan motor Jepang memiliki keterbatasan dalam menyediakan suku cadang.

Sekarang Andhie baru memiliki sembilan motor kuno. Sebagian ia simpan di kediamannya, sisanya ada di rumahnya yang lain, yang berjarak dua kilometer dari tempat tinggalnya. Di antara koleksi Andhie terdapat Honda CD 125 tahun 1958, CD 350 tahun 1962, dan Yamaha YL One tahun 1958. Berkat motor Yamaha YL One, ia pernah memenangi kontes motor tua dan mendapatkan hadiah motor Yamaha Jupiter keluaran terbaru.

Berburu Suku Cadang
Untuk mencari suku cadang (spare part), Andhie tak jarang harus menjelajahi toko-toko kecil di Thailand. “Di sana ada satu kompleks yang isinya penjual spare part motor tua,” terang dia. Selain itu, di Thailand ada semacam patokan harga suku cadang motor tua, yang tidak ada di Indonesia. “Di sini, kalau tahu kita butuh sekali, para pedagang spare part kuno itu pasti menaikkan harga,” keluh Andhie.

Menyusuri toko-toko kecil ke sejumlah negara juga dilakoni David, jika ia tak berhasil menemukan suku cadang kuno di dunia maya. Agar tidak kesulitan mencari, sebelum memutuskan untuk membeli, keduanya melakukan riset sederhana terlebih dahulu. Caranya, dengan memperhatikan buku manual. Buku petunjuk itu bisa diperoleh melalui internet atau teman sesama kolektor.

Baik Andhie maupun David sepakat bahwa suku cadang merupakan hal paling penting dalam mengoleksi motor kuno. Maklum, motor yang mereka beli tak selalu dalam keadaan layak jalan dan utuh. Padahal, kolektor amat bangga jika bisa memamerkan koleksinya. “Kalau kami tak bisa menemukan spare part yang tepat, sampai kapan pun motor tua tak bisa dibangun dan tak bisa jalan,” tegas Andhie. David pun setuju. Bahkan, David memiliki sepuluh teknisi khusus untuk mera Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} wat motor kunonya.

Hingga kini, Andhie masih terus berburu motor tua. “Sekarang ini baru tercapai 20%. Masih banyak yang belum dapat,” ujar Andhie, yang menargetkan punya HD tipe Boxer, sebagai buruan selanjutnya.

Sebaliknya, kini David kian selektif dalam mengoleksi motor. “Koleksi saya sudah cukup banyak, tetapi kalau ada yang belum dimiliki dan menarik bisa saja saya beli,” kata David. Kini, ia cenderung memilih motor tua yang siap jalan, ketimbang harus membangun dari nol. Sebab, membangun motor dari barang rongsokan sampai siap jalan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. David tak menampik kalau ada banyak pihak yang menawarkan motor tua kepadanya. Sebaliknya, David tak akan menjual satu pun koleksinya.

Minggu, 11 April 2010

MOTOR TUA DAN SEJARAHNYA

Setiap komunitas pastilah memiliki keunikan masing-masing yang tentunya tidak dimiliki oleh klub lain. Begitu juga dengan klub Motor Honda S90 Solo (MHCS) ini. Klub yang berdiri sejak 10 tahun ini memiliki keunikan yakni para anggotanya terdiri dari orang yang memiliki usia dengan jarak yang panjang.
Namun, perbedaan tersebut bukanlah menjadi penghalang bagi kedua generasi untuk saling berkomunikasi. Namun, kendala yang dihadapi justru pada langkanya peminat baru yang ingin bergabung dengan klub motor tua ini.
“Jarang ada anggota yang bergabung karena memang saat ini kebanyakan anak muda yang gengsi kalau mengendarai motor tua ini. Selain itu juga motor jenis ini sendiri sudah tidak diproduksi lagi,” papar Vivid.
Sehubungan dengan motor tua buatan Jepang ini tampaknya ada cerita menarik yang mengiringi salah seorang anggota MHCS, “Pernah ada seorang anggota MHCS yang mengadakan perjalanan ke Jepang untuk mengembalikan motor tua tersebut, namun tanpa disangka justru ia mengalami perjalanan yang menarik karena pihak Jepang sendiri malah menghibahkan motor tersebut sebagai penghargaan kepada anggota kami tersebut karena telah melestarikannya,” terangnya.
Motor tua ini juga menyimpan sejarah khusus bagi anggota lain MHCS, Antonius Afandi. Pria yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan swasta ini mengungkapkan awal perkenalannya dengan motor Honda jenis S 90 ini.
“Saya sudah cukup lama mengenal motor tua ini karena dulu kakak saya memilikinya. Motor saya sekarang ini merupakan warisan darinya.” Pria yang familier dipanggil Ipung tersebut juga menambahkan, “Walaupun usianya tergolong tua, tetapi motor ini perawatannya tidak rumit, yah susah-susah gampanglah. Selain itu juga harganya terjangkau dan saat ini sudah jarang ada orang yang punya jadi menjadi nilai plus tersendiri karena langka.” Ipung sendiri mengaku senang bergabung dengan klub yang bersekretariat di Jalan Truntum 5 Sondakan, Solo, tersebut. “Di MHCS kami dapat saling bertukar informasi, tidak hanya itu kami juga sering ngadain bakti sosial jadi tidak hanya yang senang-senang saja yang kami lakukan.” (tia)

Selasa, 06 April 2010

CLUB MOTOR TUA n UNIK

Buat kaum pria motor itu tidak sekedar hanya kendaraan, tapi juga buat bergaya. Tidak percaya nih.. Nah lihat yuk tongkrongan para pecinta motor klasik yang memang layak diliput ini.

Sebagaimana barang produksi masa lalu, motor antik pun punya penggemar tersendiri. Itu bisa dilihat misalnya dalam sejumlah pameran mobil klasik di Jakarta beberapa waktu lalu, yang turut menghadirkan sejumlah motor klasik.

Di Indonesia, motor antik yang beredar hingga saat ini, ada yang diproduksi mulai tahun 1930 an hingga era retro tahun 1980-an. Nah.. umumnya para pecinta motor antik berkumpul membentuk club ! Salah satu komunitas yang cukup besar adalah Brotherwood, yang berpusat di Bandung, Jawa Barat.

Komunitas Brotherwood mengkhususkan diri pada sepeda motor buatan Amerika dan Eropa, produksi sebelum tahun 1960 an. Selain langka alias sudah tidak diproduksi lagi, tiap motor klasik pastinya punya sejarah masing - masing. Seperti motor BSA ini misalnya, yang masuk ke Indonesia tahun 1945-an, saat sekutu memulai operasi militernya disini.

BSA singkatan dari The Birmingham Small Arms itu, diproduksi pabrik yang khusus membuat keperluan aneka peralatan kecil tentara. Dinegara asalnya Inggris, pabrik kendaraan roda dua dengan sistem besar ini sudah terbakar tahun 1972 dan tidak dibikin lagi.

Karena banyak yang sudah tidak diproduksi lagi, tidak gampang untuk mendapatkan suku cadang motor-motor yang sudah tergolong klasik itu. Nah... disinilah untungnya gabung dengan club atau komunitas motor ! Antara mereka bisa saling tukar informasi dan tips tentang perawatan dan suku cadang.

Dari hobby terciptalah jalinan persaudaraan antar sesama pemilik sepeda motor antik. Biasanya mereka pun lalu berkendara bersama. Seperti yang diakui Wawan, yang mempunyai motor BSA tahun 1948 dan Chris Harson pemilik Harley Davidson tahun 1957, ada kebanggaan tersendiri naik motor tua tersebut.

Selain Brotherwood yang angkutannya spesialis pemilik motor-motor klasik buatan Eropa dan Amerika, di Jakarta juga ada komunitas bernama Classic Motor Cycle yang angkutannya adalah pemilik motor tua buatan Jepang.

Kalau menurut para anggotanya, merawat motor Jepang dianggap lebih mudah ketimbang motor buatan Eropa. Karena merek - merek motor Jepang masih berkibar hingga sekarang. Disamping usia motor lebih mudah sebab umumnya yang beredar di Indonesia adalah produksi setelah tahun 1960 an. Tapi sebenarnya tidak ada klasifikasi khusus soal kecintaan pada motor - motor klasik.

Pemilik motor antik buatan Jepang biasanya juga demen sama motor antik buatan Eropa. Begitu juga sebaliknya. Karena ya itu tadi, ada kebanggaan tersendiri saat menunggang diatasnya. Keuntungan lain bergabung dalam sebuah komunitas macam ini adalah soal dokumen kepemilikan kendaraan.

Paling tidak ada surat jalan kolektif dari kepolisian. Maklum namanya juga motor tua, kebanyakan sudah tidak ada dokumennya lagi. Entah itu karena tercecer saat Perang Dunia ke II dulu, ataupun akibat bencana alam. Namun ada yang jadi keresahan para penggemarnya terkait keberadaan motor tua sebagai salah satu asset sejarah, yang luput dari perhatian pemerintah.

Banyak motor tua ditanah air yang kemudian yang hijrah keluar negeri, akibat diburu para kolektor mancanegara. Kalau dilestarikan, padahal motor-motor tua itu bisa menjadi potensi pariwisata juga lho. Turis mancanegara tentu akan terkaget - kaget kalau tahu motor buatan negara mereka yang dikampung halamannya sendiri mungkin sudah punah,- tapi ada di Indonesia masih terawat baik.( Indosiar.com)

Senin, 05 April 2010

Minggu, 04 April 2010

KISAH PENGGEMAR MOTOR TUA

Motor Tua Motor tua itu, sesungguhnya masih bagus. Hanya saja debu dan sarang laba-laba membuatnya seakan menjadi seonggok besi tua tak berguna di sudut gudang. Banyak cerita yang dibawa motor tua itu. Mulai dari masa-masa sekolah pemiliknya, pacaran, kampanye pemilu hingga beralih tangan ke generasi penerus sang pemilik. Anaknya.Kini, kalau saja motor itu bisa bercerita, dia akan memutar kembali rekaman masa lalunya.Mulai dari dia ketika dibayar dengan kontan oleh Ibnu Hajar untuk anaknya, Amirullah yang saat itu naik ke kelas III SMA. Itu tahun 1970. Dengan nilai rata-rata 8, Amirullah dapat kelas paspal. Jurusan paling bergengsi kala itu.Hadiah dari orang tuanya yang pengusaha ternama di Palembang, sebuah motor. Beroda besar, dengan tanki bensin juga besar. Warnanya hitam. Tak banyak yang bisa pegang motor ketika itu. Jadilah, dengan celana cutbrai, Amirullah jadi pusat perhatian. Mujur, prestasi belajarnyapun semakin bagus. Dia juga aktif di organisasi sekolahnya. Banyak teman, luas pergaulan, ditambah punya kendaraan tentu saja membuat pemuda Amirullah punya banyak kesempatan.Tamat SMA, dia pun melanjutkan kuliah ke Pulau Jawa. Motor kebanggaannya dibawa. Pilihan orangtuanya memang tepat. Amirullah tak semata bagai katak dalam tempurung. Pergaulan dan pengalamannya semakin luas.Bukan saja soal kuliah tapi juga soal wanita. Gonta-ganti pacar bukanlah hal aneh bagi Amirullah. Saksi matanya, motor gede itu.Dengan suara besar dan jok besar, pantat-pantat gadis pun tak sedikit telah menikmati empuknya jok motor itu.Balasannya, tentu sang pemilik pun bisa merasakan getaran gadis-gadis itu. Sampai akhirnya, Amirullah tercantol seorang gadis. Umiyati, namanya. Belum tuntas kuliah, keduanya terikat tali perkawinan.Setahun kemudian, lahirnya seorang bayi. Namanya Amiruddin. Dia berumur 3 tahun, sang ayah tamat kuliah. Sang balita dan ibunya diboyong ke Palembang.Naluri bisnis Amirullah jalan. Organisasinya juga. Dia sukses menjadi pemborong, juga menjadi aktivis partai. Dengan motor besar, waktu kampanye dia turun jalan. Ikut keliling kota bahkan ke daerah-daerah.Saat pemilihan umum, di partai berkuasa, dia ikut terpilih. Kini, statusnya anggota dewan. Dari luar, semuanya tampak begitu mudah.Meski sesungguhnya tak segampang itu. Perkawinannya pernah nyaris bubar. Gara-gara sang istri cemburu karena kedekatannya dengan sekretaris ketika sibuk-sibuknya berpartai. Kalau saja, dia tak sabar, keinginan cerai istrinya bakal ibarat gayung bersambut. Tapi, dia masih sabar dan memang pandai menyimpan rahasia. Kecemburuan itu tak terbukti. Meski sesungguhnya memang wajar dicemburui karena hubungan mereka sudah terlalu jauh. Motor hitam gede itulah saksi matanya. Sama seperti dulu ketika dia kuliah.Begitupun bisnisnya, nyaris roboh. Karena, antara politik dan bisnis pernah tak seimbang. “Beruntung, dengan kedudukan terhormat sebagai anggota dewan, proyek-proyeknya jalan. Dan pengalamannya berbisnis membuatnya tahu liku-liku proyek,” tutur sang ayah, Ibnu Hajar kepada rekannya saat masih sehat. Kini, Ibnu Hajar memang sudah meninggal. Memang, Ibnu Hajar pun tak bisa memastikan, mana posisi anaknya yang lebih menunjang. Apakah status pengusahanya menunjang aktivitas politiknya. Atau, aktivitas politiknya yang mendukung usaha anaknya.Yang jelas, keduanya memberikan modal bagi Amrullah untuk mencalon kembali sebagai anggota dewan. Dan dia pun terpilih kedua kalinya. Motor tua tetap menjadi andalannya pada saat menjelang pemilihan umum.Dia tampak gagah di atas sadel sepeda motor. Iring-iringan sepeda motor tampak gagah dengan dikawal vorider yang meraung-raung sirine dan lampunya berkelap-kelip.Teriakan dan yel-yel memuji tokoh dan kepartaian Amirullah mengiringnya mendapat posisi sebagai anggota dewan. Dua kali dia duduk di kursi dewan.Meski tak banyak yang bisa diperjuangkan bagi orang banyak kala menjadi anggota dewan, setidaknya bagi partai dan orang-orang dekatnya, Amirullah adalah orang baik.Dan memang Amirullah selalu tampil saat sidang dan rapat di gedung dewan. Dia menjadi orang yang paling banyak bicara. Tidakpernah tertidur ketika sidang. Habis, gizinya bagus. Dan itu diwariskan ke anaknya, Amirudin. Nyaris sama, perjalanan hidup sang anak dengan dirinya dulu. Bedanya, dulu orang tua Amirullah, Ibnu Hajar, pengusaha murni. Amirullah, pengusaha ya politikus. Dan, anaknya pun diajarkan berorganisasi dan berpolitik.Di nomor jadi, sang anak pun dipasang. Dengan motor besar milik ayahnya dia pun kembali mengulang sukses. Terpilih menjadi anggota dewan. Seakan, menggantikan kedudukan ayahnya. Kursi yang pernah diduduki ayahnya dirasakan juga olehnya.Hanya saja, politik berubah. Ketika pemilu diulang saat memasuki tahun kedua, ketika masa reformasi bergulir, Amiruddin tak terpilih lagi. Dia terpental.Usahanya pun kini hancur. Tinggallah, dia hanya mengurusi proyek yang tak dapat tender lagi. Tak sekuat ayahnya dulu. Motor tua itu pun tak terurus.Motor itu kini mau bercerita banyak. Tapi, adakah orang masih mendengarkan. Masih kah motor besar itu segagah dulu. Saat motor-motor Cina dengan body yang sama besarnya juga kini telah banyak merajai jalanan. Adakah yang mau membersihkan motor itu.Pemilihan umum kini pun telah berlalu. Dengan metode yang berbeda dari sebelumnya. Amiruddin, bukannya tak ikut. Meski bukan di nomor jadi, dia berjuang setengah mati. Baik itu tenaga maupun biaya.“Pemilu sekali ini beda. Tak penting nomor urut. Asal banyak yang milih kita bisa jadi,” ujar Amiruddin kepada istrinya yang sebelumnya sempat mengingatkan. Ketika penghitungan suara molor karena bermasalah, Amiruddin sempat stress. Melihat angka perolehannya seperti sulap yang gagal. Sim salabimnya sepertinya tak mempan lagi. Apalagi, beberapa kali, setelah penghitungan suara usai, jumlah perolehan suara beberapa kali juga berubah. Tapi anehnya, perolehan suaranya seakan tak bergeming.Amiruddin memang tak masuk hitungan. Bahkan, partainya pun tak satupun dapat kursi. “Sayang, kamu salah pilih kendaraan. Kalau saja, kendaraan kamu tepat, mungkin gedung dewan bisa kamu masuki lagi,” komentar seorang teman ketika Amiruddin berkeluh kesah. Mendengar kendaraan, Amiruddin pun teringat motor
peninggalan turun temurun dari orang tuanya. Motor itu sebenarnya memang masih bagus. Tapi sayang, tak masuk dalam sebagian otaknya. Sehingga, hanya teronggok di sudut rumah.Dia sempat menatap motor itu. Terbayang, betapa gagahnya ketika ayahnya dan dia juga sempat mencicipi pamor motor itu. Tapi apa mau dikata, semuanya telah berlalu. Motor itu memang bukan seakan besi tua. Tapi memang sudah menjadi besi tua. Amiruddin, hanya bisa berkata motor..motor.. motor.. motor. Dia tak mengenali lagi istrinya. Anaknya. Temannya. Partainya sekalipun. Termasuk lambang partainya. Yang ada di otaknya mungkin motor tua yang gagah sehingga yang naik pun menjadi gagah.Makanya, meski tanpa motor, kini Amiruddin pun mengelilingi kota seakan naik motor. Mulutnya pun bergetar. Ngg Ngg Ngg Rrrrrr. Menirukan bunyi motor. Palembang, 20Juni 2004
(Dimuat di Harian Sore Sinar Harapan, edisi Sabtu 31 Juli 2004)

ABOUT MOTOR TUWIR



Coba2 ngisi artikel motor tuwir harap maklum ya
baru nyoba-nyoba