Hobi motor tua bukan sekadar urusan koleksi, melainkan bagaimana membuatnya layak jalan dan layak pajang. Inilah pengalaman David Sunar Handoko dan Andhie Saad mengoleksi motor tua.
Surya di akhir 2008 terasa datang lebih cepat. Meski tingginya belum sepenggalah, teriknya sudah menyengat. Di perempatan Jl. Margonda Raya, Depok, seorang polisi melambaikan tangan ke arah Andhie Saad, memintanya berhenti. Dengan sopan, direktur PT Aryan Indonesia, pengelola anjungan bermain anak Kidzania, ini menepikan sepeda motor antiknya, Honda seri CD 250. Meski mengantongi SIM dan STNK, wajah pria yang pernah bercita-cita menjadi wartawan ini terlihat tegang. “Dengan sedikit tegang, saya menepi,” kenang Andhie.
Namun, sang polisi ternyata tidak menanyakan surat-surat atau pelanggaran lalu lintas yang mungkin dilakukan Andhie. Ia justru menatap motor tuanya. “Pak polisi bertanya, dari mana dapat motor itu dan berapa harganya,” gelak Andhie. Kata Andhie, polisi itu mengaku penggemar motor antik, bahkan pernah memiliki motor sejenis yang ia pakai.
Kejadian di penghujung 2008 itu bukan kali pertama bagi Andhie. “Saya beberapa kali distop polisi hanya karena mereka ingin melihat motor saya lebih dekat,” tuturnya. Maklum, motor yang dikendarainya itu eks kendaraan dinas anggota TNI dan Polri. Bagi Andhie, semua itu tak jadi masalah. Malah, kalau sedang santai, di pinggir jalan pun alumnus Sastra Jawa dari Universitas Indonesia ini bisa ngobrol berlama-lama dengan polisi tentang motor tuanya.
Perkenalan Andhie dengan motor tua dimulai sekitar lima tahun lalu. Saat itu, tutur Andhie, koleganya mengendarai sebuah motor tua untuk menjemput sang buah hati, yang satu sekolah dengan putrinya. “Saya langsung tertarik,” kata Andhie. Naik motor tua, kesan Andhie, lebih cool dan low profile.
Tak dinyana, kegemaran naik motor tua itu bak virus flu: cepat menular. Buktinya, kian banyak orang tua murid yang ikut-ikutan menjemput anaknya dengan motor tua. Selebihnya, “Kalau sudah membahas motor tua dengan teman-teman, kami tidak ingat waktu,” ujar Andhie, tergelak.
Beda Tahun, Beda Fungsi
Lain lagi dengan David Sunar Handoko, pemilik Merpati Sakti, jaringan dealer motor Honda di Yogyakarta. “Saya ingin keberadaan motor tua dinikmati anak cucu,” ujarnya. Ide ini muncul saat David ke Kanada. Di sana, dia mendapati masyarakat Kanada tertarik dengan Harley-Davidson (HD) tua dari Indonesia. “Setiap minggu, kontainer-kontainer berisi HD tua datang dari Indonesia,” cetus pria kelahiran Yogyakarta, 12 November 1955 ini. Padahal, saat itu di Indonesia belum ada orang yang secara khusus mengoleksi HD tua.
Sepulang dari Kanada, David langsung membeli motor HD tua seharga Rp5 juta. Padahal, sebelum berangkat ke Kanada, David mengaku sempat ditawari HD tua itu seharga Rp3,5 juta dari penjual yang sama, tetapi ia tolak karena belum tertarik. Kini, David mengaku makin cinta dengan hobi barunya itu, terutama saat ia membangun motornya hingga layak pajang dan layak jalan. “Momen yang paling menyenangkan ialah setelah bersusah payah membangunnya hingga selesai,” imbuh dia.
Mengapa memilih HD tua? Kata David, selain agar generasi mendatang tetap dapat menikmati keindahannya, juga karena alasan investasi. Pasalnya, HD mempunyai brand yang kuat, sehingga nilai jualnya makin lama akan makin kuat. “Kalau memiliki koleksi, yang ada di pikiran saya adalah investasi dan harus untung,” tegas David.
Kini David mengoleksi 300 motor tua dari beberapa merek—90 motor HD asli AS, dan sisanya asal pabrikan Jepang dan Eropa. Salah satu kebanggaan David adalah HD tipe Knucklehead produksi 1936–1948; ia punya tiga motor, dua ber-cc 1.200 dan satu lagi 1.000 cc. Ketiganya ia peroleh dari seorang penjual di AS dan Jerman. “Saya beli lewat internet. Mereka kirim foto, saya setuju, mereka kirim,” tutur pria yang juga mengoleksi arloji dan mobil tua ini. Melalui internet pula David menjelajah lima benua untuk mendapatkan buruannya. Dalam berburu, kata David, kuncinya adalah kepercayaan. “Saya bersyukur, sampai saat ini tidak ada masalah bertransaksi dengan para kolektor,” imbuhnya.
Belakangan, David juga memburu motor buatan Jepang, terutama yang antik dan jumlahnya terbatas. “Saya selalu mencari motor langka, limited edition, yang memiliki nilai tersendiri pada masanya, atau menjadi tunggangan khusus, seperti kendaraan patroli polisi, tentara, atau lainnya,’’ urainya. Salah satu koleksi motor Jepangnya adalah Honda Benly CS 92 125 cc tahun 1959. David menyimpan 300 koleksinya di kediamannya yang seluas 3.000 meter persegi di Jl. KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
David bercerita, tiap kendaraan memiliki ciri khas. “Motor Eropa berbeda dengan motor Jepang atau AS. Kekhasan inilah yang menjadi daya tarik dan memperlihatkan karakter penciptanya. Selain itu, angka tahun pembuatan juga menyisakan visi dan misi pabrikan. Misalnya, untuk kendaraan perang, penjelajah, angkutan, dan yang lain,’’ urai David. Bagi David, mengoleksi motor Jepang relatif lebih mudah. Apalagi, tahun pembuatannya juga jauh lebih muda dibandingkan motor Eropa atau AS.
Namun, Andhie justru menilai sebaliknya. Bagi dia, memburu motor Jepang lebih besar tantangannya. “Komunitas motor antik pabrikan Jepang relatif lebih tertutup dibanding Eropa atau AS,” keluh pria yang kerap mengendarai motornya setiap Sabtu pagi ini. Andhie memberi contoh, untuk suku cadang, kolektor motor Eropa tinggal menghubungi kantor pusat. Lalu, komunitas pencinta motor Eropa juga lebih terbuka dan siap berbagi informasi. Sementara itu, pabrikan motor Jepang memiliki keterbatasan dalam menyediakan suku cadang.
Sekarang Andhie baru memiliki sembilan motor kuno. Sebagian ia simpan di kediamannya, sisanya ada di rumahnya yang lain, yang berjarak dua kilometer dari tempat tinggalnya. Di antara koleksi Andhie terdapat Honda CD 125 tahun 1958, CD 350 tahun 1962, dan Yamaha YL One tahun 1958. Berkat motor Yamaha YL One, ia pernah memenangi kontes motor tua dan mendapatkan hadiah motor Yamaha Jupiter keluaran terbaru.
Berburu Suku Cadang
Untuk mencari suku cadang (spare part), Andhie tak jarang harus menjelajahi toko-toko kecil di Thailand. “Di sana ada satu kompleks yang isinya penjual spare part motor tua,” terang dia. Selain itu, di Thailand ada semacam patokan harga suku cadang motor tua, yang tidak ada di Indonesia. “Di sini, kalau tahu kita butuh sekali, para pedagang spare part kuno itu pasti menaikkan harga,” keluh Andhie.
Menyusuri toko-toko kecil ke sejumlah negara juga dilakoni David, jika ia tak berhasil menemukan suku cadang kuno di dunia maya. Agar tidak kesulitan mencari, sebelum memutuskan untuk membeli, keduanya melakukan riset sederhana terlebih dahulu. Caranya, dengan memperhatikan buku manual. Buku petunjuk itu bisa diperoleh melalui internet atau teman sesama kolektor.
Baik Andhie maupun David sepakat bahwa suku cadang merupakan hal paling penting dalam mengoleksi motor kuno. Maklum, motor yang mereka beli tak selalu dalam keadaan layak jalan dan utuh. Padahal, kolektor amat bangga jika bisa memamerkan koleksinya. “Kalau kami tak bisa menemukan spare part yang tepat, sampai kapan pun motor tua tak bisa dibangun dan tak bisa jalan,” tegas Andhie. David pun setuju. Bahkan, David memiliki sepuluh teknisi khusus untuk mera Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} wat motor kunonya.
Hingga kini, Andhie masih terus berburu motor tua. “Sekarang ini baru tercapai 20%. Masih banyak yang belum dapat,” ujar Andhie, yang menargetkan punya HD tipe Boxer, sebagai buruan selanjutnya.
Sebaliknya, kini David kian selektif dalam mengoleksi motor. “Koleksi saya sudah cukup banyak, tetapi kalau ada yang belum dimiliki dan menarik bisa saja saya beli,” kata David. Kini, ia cenderung memilih motor tua yang siap jalan, ketimbang harus membangun dari nol. Sebab, membangun motor dari barang rongsokan sampai siap jalan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. David tak menampik kalau ada banyak pihak yang menawarkan motor tua kepadanya. Sebaliknya, David tak akan menjual satu pun koleksinya.
Rabu, 14 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
nice info brai....
BalasHapus